Pengantar
Halo, Salut, Hola,
Akhirnya niat menulisku muncul kembali setelah beberapa waktu tidak kunjung tiba. Entah kemana dia selama ini, yang jelas datang lagi. Kali ini, Ingin kuteruskan ceritaku di tulisan yang lalu tentang perjalanan hidup kami, Fast Tracker, di negeri Eiffel.
Tak terasa, kami sudah enam bulan disini. Dimulai dari keberangkatan di Bandara Juanda Surabaya hingga ke kota tempat studi kami dihelat. Dilanjutkan dengan proses perkuliahan yang berbeda mulai dari bahasa, materi kuliah, budaya, lingkungan, transportasi dan sebagainya. Lille, Brest, Le Havre, Paris, Strasbourg, La Rochelle, Toulouse, Lyon, Grenoble dan Marseille akan menjadi kota – kota Prancis yang akan bermakna tersendiri bagi lembaran sejarah hidup kami.
Paris, Je te deteste
Langsung saja cerita ini disambung dari bagian akhir cerita yang lalu. Setelah kedatangan kami di Bandara Charles de Gaule – Paris, kegalauan dan kegundahan menyelimuti kami semua selama di Bandara. Banyak pendapat dari apa yang sebenarnya harus kami lakukan setelah kedatangan ini. Perlu diketahui bahwa kami bahkan tidak tahu apakah kami jadi berangkat atau tidak sebelum pemberitahuan keberangkatan. Sedangkan tanggal pemberitahuan dan hari – H keberangkatan kami hanya terpaut kurang dari seminggu. Kondisi kami saat itu adalah persiapan yang belum maksimal serta ada beberapa rekan yang masih belum mendapatkan visa. Kejadian visa ini dipicu oleh proses administrasi di kedutaan besar Prancis di Jakarta. Itu mengapa persiapan kami kurang sempurna.
Yup, bagiku, saat itu adalah saat yang emosional. Dalam waktu kurang dari 3 jam, Euforia kedatangan kami di Paris berubah menjadi momok. Ini terjadi ketika aku menyadari bahwa rekan – rekanku memiliki pendapat yang berbeda mengenai apa yang seharusnya kami lakukan. Ada yang memutuskan untuk langsung ke kota studi kami, ada yang berencana mampir ke KBRI dan ada yang berpendapat untuk ke CampusFrance Paris terlebih dahulu. Aku termasuk pendukung pendapat terakhir karena telah kutanyakan kepada rekanku yang lebih dulu sampai di Grenoble mengenai apa yang seharusnya kami lakukan.
Ketika itu, anggapan bahwa kota Paris merupakan kota romantis di dunia berubah menjadi kota paling mengerikan. Bayangkan, ini pertama kalinya aku keluar negeri ditambah jaraknya hampir separuh dunia. Selain itu, penduduk Prancis terkenal kurang bersahabat jika kita tidak bisa berbahasa Prancis. Meskipun aku bisa bercakap dalam bahasa Prancis, ini pertama kalinya aku bertemu native Prancis di kandangnya langsung. Rasa takut tersesat, amblas di jantung Eropa maupun dijadikan tumbal pemujaan setan mulai bermunculan. Ditambah lagi, kondisi badanku yang tidak fit karena belum menyesuaikan dengan suhu Paris yang drop saat itu.
Kami sempat mampir ke loket kecil CNOUS (agen nasional Prancis yang mengurusi tempat tinggal mahasiswa) yang ada di bandara untuk menanyakan apa yang seharusnya kami lakukan. Setelah menunggu beberapa jam, ternyata kami mendapati bahwa loket itu tidak buka alias abal – abal. Akhirnya kutelepon kawanku di Grenoble mengenai hal ini. Ia memberi kami petunjuk tentang apa yang seharusnya kami lakukan. Cerita kami menjadi semakin berwarna ketika salah satu rekan kehilangan tasnya di Bandara meskipun akhirnya ditemukan di loket Lost & Found. Singkat cerita, kami sampai di CampusFrance Paris dan sempat melewati l’Arc de Triomph yang pernah kulihat di google images.
Saat di CampusFrance Paris, kami menceritakan apa yang telah kami kerjakan dan kebingungan kami. Disana, semua masalah teratasi. Namun, karena sebagian besar kami sudah kesorean untuk berangkat ke kota studi, akhirnya kami diinapkan di salah satu hotel Paris. Di malam hari, beberapa dari kami menyempatkan diri keluar untuk mengunjungi menara Eiffel maupun bertemu dengan kenalan kami yang juga berasal dari Indonesia. Aku salah satu yang memilih untuk tidak keluar hotel akibat kondisiku yang sangat tidak fit akibat temperatur udara yang jauh berbeda dengan Surabaya.
Dari Paris ke Kota Studi
Esoknya, kami semua menuju stasiun kereta untuk menuju kota studi kami. Karena Paris memiliki banyak stasiun, maka kami berpencar dan beberapa dari kami tetap bersama karena tujuan kota studi yang berdekatan. Untuk kasusku, Aku bersama dengan seorang kawanku bernama Anike. Anike studi di kota Lyon yang merupakan ibukota Region Rhône-Alpes. Sedangkan aku menuju kota Grenoble, sebuah kota kecil di Region yang sama.
Kami menuju Gare de Lyon untuk menaiki kereta cepat Prancis yang disebut dengan TGV (Train à Grande Vitesse). Sedikit catatan bahwa Gare de Lyon itu tidak berada di kota Lyon, melainkan berada di Paris. Aku baru menyadari hal ini hanya beberapa saat sebelum aku menuju stasiun yang terletak dekat Museum Louvre ini. Sedikit gambaran mengenai TGV. Jika Jepang punya kereta peluru Shinkansen, maka Prancis punya TGV. Sedangkan Indonesia punya kereta Turangga dan Rapih Dhoho.
Gare de Lyon adalah stasiun kereta modern yang apik dan seimbang dengan tatanan kota Paris yang luar biasa. Harus kuakui bahwa transportasi Paris memang rumit pada awalnya. Tapi justru itu, aku menyadari bahwa kerumitan itu sangat sistematis. Itu memungkinkan setiap pengguna transportasi umum dapat sampai ke setiap sudut kota dengan efektif dan tepat waktu.
Sesampai disana, aku dan Anike berpisah karena menaiki kereta yang berbeda pula. Sedikit terkejut ketika mengetahui bahwa semua pengumuman di stasiun ini hanya dalam bahasa Prancis, aku yang saat itu lemah dalam pendengaran (listening atau écouter) bahasa Prancis sedikit pucat ketika menyadari hal itu. Namun, akhirnya aku bertemu seorang Parisien (Penduduk Paris) baik hati yang mampu berbahasa Inggris dan Prancis dengan Baik. Kami berkomunikasi dengan bahasa Prancis dan beliau memahami semua perkataanku yang bercampur aduk antara Prancis – Inggris. Senang sekali rasanya saat itu bagai menemukan danau di tengah Sahara (#Alay dikit yah, :p). Akhirnya, kami sampai di kota studi dengan selamat.
Keajaiban
Tahukah kawan, kadang Tuhan mengabulkan doa seseorang tidak langsung pada saat orang tersebut meminta. Meskipun orang tersebut telah berikhtiar sekuat tenaga. Itulah pelajaran yang dapat kupetik dari kejadian yang dialami beberapa rekan kami yang datang ke Prancis untuk gelombang berikutnya.
Ya, mereka adalah Leo, Vela, Annas, Ria, Azmi dan Mitha. Kawan – kawan kami dari program yang sama, Fast Track Prancis. Gembira rasanya ketika mendengar mereka menyusul kami. Bagiku, itu menambah semangat untuk terus berjuang kembali.
Aku tahu rasanya berada di tengah ketidakpastian. Hanya satu kata yang tepat kusandangkan untuk mereka, Luar Biasa. Mereka tetap percaya pada keinginan mereka dan terus berjuang hingga akhirnya bisa datang dan meneruskan kembali perjuangan di negeri Napoleon.
Time flies so fast
Setelah kegalauan Paris dan diselingi kedatangan rekan – rekan yang lain, akhirnya kami dapat menikmati perkuliahan di sekolah kami masing – masing. Selama itu pula, kami saling kontak untuk mengetahui keadaan satu dengan yang lain. Mulai dari kendala yang dihadapi, keadaan kota, travelling kami dan sebagainya.
Pada akhir bulan november, kami diminta oleh Atase pendidikan KBRI Paris untuk bertemu di Paris. Ini dilakukan dalam rangka evaluasi mengenai studi kami. Meskipun itu adalah hari – hari sibuk perkuliahan, kami tetap menuju Paris karena Beliau adalah inisiator program kami.
Paris, kawan. Ini adalah kesempatan keduaku bertandang ke kota luar biasa ini. Sebelum berangkat ke Ibukota, aku menyempatkan diri untuk mengatur rencana perjalananku menuju, di dalam dan dari Paris. Berkat ilmu dari “Padepokan Rifan“, akhirnya aku bisa mengatur segalanya dengan sangat efisien. Alhasil, pertemuan dengan Atase Pendidikan pun terlaksana ditambah kunjungan beberapa landmark Paris seperti Menara Eiffel, Musée du Louvre, Place de la Concorde, Centre Pompidou, Notre-Dame, l’Arc de Triomph dan sebagainya. Tak lupa, kami semua menyempatkan diri untuk berfoto bersama dengan latarbelakang menara Eiffel sebagai lambang Prancis.
Point de Vu
Banyak sekali yang bertanya – tanya, apa yang sebenarnya kami kerjakan di Prancis. Ini dipicu oleh pengunggahan foto dan video yang kami lakukan di jejaring sosial. Banyak yang mengatakan bahwa kami tidak pernah belajar dan kehidupan kami hanya diisi dengan kegembiraan.
Hoi Bung, jangan salah !!! Sering kuulangi berkali – kali pada setiap orang yang melontarkan hal serupa bahwa jangan menilai buku hanya dari sampulnya. Perlu didalami apa yang telah dituliskan oleh si penulis di dalam buku itu. Jika perlu, juga ditelusuri kenapa dan bagaimana si penulis memiliki ide untuk menuliskan buku hingga bisa diterbitkan.
So, jangan dikira bahwa harga yang dibayar untuk mengunjungi Eiffel merupakan harga yang murah. Sebelum berangkat ke Prancis, kami sudah berjuang setengah mati untuk belajar materi kuliah dan bahasa. Kuliah S1 dan S2 secara bersamaan. Ditambah lagi kursus bahasa Prancis setiap sore dimana sebagian besar dari kami tidak pernah belajar bahasa ini sebelumnya. Diluar itu, banyak dari kami juga masih aktif dalam kegiatan seperti koordinator asisten laboratorium, pembicara pelatihan mahasiswa, aktivis sosial, pemenang kejuaraan nasional, pebisnis, ketua organisasi dan sebagainya. Syukur Alhamdulillah, kami dapat melewati masa perkuliahan dengan baik serta lulus tes bahasa prancis a.k.a DELF B2 (biasanya disetarakan dengan TOEFL 550) yang disyaratkan oleh Kedutaan Prancis untuk Indonesia.
Disini, kami sudah lebih dari setengah mati untuk berjuang (#Meski nggak sampai mati sih, hehehe). Kami harus bergulat dengan buku setiap hari, perasaan kacau balau ketika menerima kuliah pertama dalam bahasa Prancis, dihadapkan dengan budaya barat yang individualis dan berbagai rintangan lainnya.
Tapi bagiku, justru itulah nikmatnya. Kau memiliki pengalaman yang luar biasa. Berinteraksi dengan teman dari negara lain (juga non Prancis) yang berbahasa, beraksen, berkarakter dan berbudaya sangat berbeda dengan Indonesia khususnya aku yang seorang Jawa. Beberapa hal memang sulit untuk diterima. Namun, beberapa yang lain bisa diadaptasikan.
Memang, terkadang hal – hal tersebut menimbulkan rasa yang tak tertahankan karena kondisinya yang berbeda dengan kampung halaman. Apalagi ditambah dengan kerinduan akan keluarga nun jauh di sana. Rekan – rekan PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) di masing – masing kota menjadi penawar hal itu.
PPI Grenoble adalah Perhimpunan Pelajar Indonesia di Grenoble. Di sinilah aku menemukan keluarga baruku dimana satu dengan yang lain saling mendukung dan menghormati. Saling bercanda dan terkadang saling memperolok keadaan yang lain. Ooo, betapa manisnya hidup ini.
Après 6 Mois, Kini dan Nanti
Saat ini, hal umum yang menyibukkan kami adalah tesis. Ada yang sedang tesis di laboratorium maupun perusahaan. Namun, beberapa ada yang belum mengerjakan tesis karena perbedaan kalender akademik. Selain itu, ada yang masih mencari tempat pelaksanaan tesis.
Tujuan kami disini adalah belajar sehingga mendapatkan gelar master riset maupun master profesional. Namun tidak berarti bahwa belajar adalah semata – mata tujuan kami. Jika seperti itu, maka kami layaknya katak dalam tempurung. Tujuan yang lain seperti berorganisasi, jalan – jalan, shopping, mencari jodoh dan tujuan yang lain juga tidak menutup kemungkinan. Aku termasuk pengikut mahzab jalan – jalan yang cukup taat.
Selain itu, meskipun kami belum mendapatkan gelar master, ada dari kami yang sudah mendapatkan warga asing untuk dibawa pulang ke Indonesia. Sebut saja namanya DN. Beberapa yang lain mengincar untuk melanjutkan Post Master dan Doktoral di sini. Ada yang sudah merancang skenario untuk bekerja di Eropa. Disamping itu, ada juga yang telah menetapkan hati untuk kembali langsung ke tanah air untuk mengabdikan diri di dunia pendidikan.
Entah apapun pilihan yang telah kami rencanakan, Semoga pilihan itu adalah yang terbaik bagi kami serta bangsa kami. Semoga kami lulus kuliah dengan baik. Semoga investasi negara yang telah tersalurkan kepada kami tidak tersia – siakan dan suatu hari nanti akan kami balas dengan pengabdian riil untuk Bumi Pertiwi. Semoga…
Grenoble, Rhône-Alpes
Prancis
Leave a comment